Penulis: Ummu Fairuzah
Muslimah News, PENDIDIKAN ANAK – Memberikan sesuatu yang diinginkan anak, apabila orang tua mampu memenuhi dan selama keinginannya tidak melanggar syariat, tentu boleh saja. Misalnya, memberikan pakaian yang bagus, tas sekolah bermerek, gadget, sepeda, sepatu roda, dan lainnya.
Sesungguhnya, rezeki anak bisa datang melalui jalan orang tuanya. Allah Swt. berfirman, “Janganlah engkau menjadikan tanganmu terbelenggu di atas lehermu dan janganlah mengulurkan hingga engkau menjadi celaka.” (QS Al-Isra’: 29).
“Orang-orang yang jika menafkahkan hartanya, mereka tidak bertindak israf dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah di antara yang demikian.” (QS Al-Furqon: 67).
Menafkahkan harta yang banyak dalam perkara-perkara yang halal tidak dilarang oleh Allah Taala. Bahkan, Islam menghalalkan untuk menikmati rezeki-rezeki yang baik, serta mendapatkan hiasan yang layak. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hamba-Nya.” (HR At-Tirmidzi).
“Ambillah apa saja yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Namun, tujuan membahagiakan anak dengan memberikan setiap keinginannya bisa disalahartikan dan diterima anak sebagai pembiasaan yang menuntut selalu dipenuhi.
Apabila tidak dipenuhi, anak tidak jarang menangis, berteriak, merusak barang, mogok makan, dan reaksi lainnya untuk memaksa orang lain memenuhi keinginannya. Ini karena anak tumbuh dan belajar dari proses pembiasaan yang diberikan orang tua dan lingkungan terdekatnya.
Anak Juga Manusia
Orang dewasa memiliki kebutuhan, baik kebutuhan jasmani (hajjah udhwiyah), maupun naluri-naluri (garizah) yang keduanya bersifat fitrah dan tidak mungkin dihilangkan. Rangsangan pemenuhan hajjah udhwiyah berasal dari dalam diri seseorang.
Rasa lapar menandakan tubuh butuh makanan. Rasa capek dan mengantuk menandakan tubuh butuh istirahat yang cukup. Tuntutan seperti ini bersifat pasti. Jika tidak dipenuhi bisa menghantarkan pada sakit atau bahkan kematian.
Berbeda dengan garizah yang rangsangannya berasal dari luar diri, baik berupa pikiran/imajinasi, maupun perkara indrawi. Tuntutan pemenuhan garizah tidak bersifat pasti. Jika ditunda pemenuhannya hanya menimbulkan rasa gelisah. Bahkan, rasa ini bisa dialihkan kepada kegiatan lainnya.
Menyaksikan luasnya samudra akan membawa kepada pengagungan Sang Pencipta. Melihat anaknya dilecehkan akan muncul pembelaan dari orang tua. Mendengar tetangganya membeli rumah baru, lantas seorang istri menuntut suaminya merenovasi rumah.
Sesungguhnya, anak pun sama dengan orang dewasa. Ketika mereka merengek karena lapar setelah beraktivitas sedemikian rupa bersama teman bermainnya, ini adalah wujud kebutuhan jasmani. Dengan demikian, tidak tepat jika orang tua memberikan nasihat bahwa di luar sana banyak orang kelaparan yang mampu menahan lapar atau anak-anak Gaza tidak merengek menghadapi tentara Israel, padahal bahan makanan cukup tersedia di lemari. Seharusnya seorang ibu bergegas memasak dan menyiapkan makanan untuk anaknya.
Saat anak pulang bermain dalam keadaan menangis dan melaporkan perbuatan temannya yang mengejek sehingga ia tidak mau lagi berteman, ini adalah wujud naluri mempertahankan diri. Orang tua yang bijak akan mendengarkan keluhan anak, lalu mengajak anak belajar berpikir. Diejek teman memang menyakitkan. Namun, menangis, bertengkar, dan saling tidak menyapa sama sekali dengan teman tidak akan membawa kebaikan baginya.
Jelaskan pada anak bahwa memaafkan teman adalah perbuatan mulia. Mungkin teman tidak bermaksud menyakiti, tetapi karena kesal sesaat. Teman juga pasti sekarang menyesal karena telah mengejek. Ingatkan bahwa orang yang paling baik di sisi Allah Swt. di antara dua orang yang berteman adalah orang yang paling besar kasih sayangnya kepada yang lain.
Oleh karenanya, memahami potensi diri anak sangat penting bagi orang tua. Dengan demikian, orang tua bisa mengambil keputusan yang tepat dan benar, misalnya menentukan waktu yang tepat untuk memenuhi permintaan anak atau tidak memenuhinya sama sekali.
Jika permintaan anak tidak tepat, orang tua harus mengalihkan permintaan anak kepada perkara lain yang lebih bermanfaat. Orang tua juga harus mengajak anak berpikir dan memilih yang terbaik, serta mencintai perkara yang lebih utama.
Mengarahkan Keinginan Anak
Kehidupan kapitalistik yang mengumbar syahwat dan memuja materi telah memberikan efek buruk pada tumbuh kembang dan pembentukan jati diri anak. Berbagai media juga memberikan rangsangan negatif kepada generasi.
Kelemahan orang tua yang memang tidak disiapkan oleh sistem sekuler untuk menjadi sosok pendidik terbaik bagi generasi turut memperkeruhkan situasi. Banyak anak yang tumbuh menjadi pribadi pembebek, emosional, egois, dan bersikap easy going.
Contoh sederhananya ketika anak minta diizinkan menonton TV pada jadwal tayangan film kesukaannya, padahal hari sudah sore. Saat itu menjelang azan Asar, anak belum mandi dan belum bersiap ke masjid. Kemudian anak menangis sejadi-jadinya.
Pada lain kesempatan, mungkin anak minta gadget untuk bermain gim favorit di tengah suasana pengajian di masjid. Kemudian anak melempar barang-barang karena tidak diizinkan. Orang tua terkadang panik, speechless, dan malu dilihat orang. Ketika dinasihati, anak makin berteriak mengganggu kekhusyukan forum.
Sesungguhnya setiap anak memiliki beragam watak/sifat, serta sejumlah maklumat dan “pengalaman”. Oleh karenanya, sangat dianjurkan, bahkan menjadi kebutuhan bagi orang tua untuk memahami karakteristik anaknya. Sikap anak yang marah dan menangis sering kali hanyalah reaksi singkat atas respon ibu terhadap keinginan anak.
Ibu yang memahami watak anak akan paham bahwa tuntutan anak adalah ekspresi kebutuhan jasmani, naluri, atau keinginannya saja. Seorang ibu yang matang syahsiahnya adalah sosok problem solver yang sangat tenang, tidak gampang panik, dan fokus pada masalah, bukan pada penilaian orang lain.
Anak butuh dihargai sebagaimana orang dewasa. Menasihati anak di depan orang lain akan meruntuhkan kehormatan anak. Berikan waktu dan tempat privasi untuk bicara dengan anak.
Apabila anak sudah mulai menuntut perkara yang tidak tepat waktu dan keadaannya, orang tua bisa memberi gagasan kepada anak untuk bicara berdua di teras masjid atau di kamar, misalnya. Hal ini akan memberikan kepercayaan kepada anak.
Pada momen inilah ibu bisa ngobrol senyaman mungkin dengan anak. Mendekap anak dengan kasih sayang dan berbisik lembut kepadanya terkadang cukup efektif meredam kemarahan anak. Pada dasarnya, anak membutuhkan ketenangan sebagaimana yang ia rasakan selama sembilan bulan di dalam rahim ibunya.
Tertinggal materi pengajian 20 menit masih lebih baik dibandingkan mengabaikan pembentukan karakter anak. Jika tertinggal materi pengajian, kita masih bisa bertanya kepada ustazah pada sesi tanya jawab, atau membaca buku dan mengikuti forum sejenis pada lain waktu. Sesungguhnya memberikan hak pendidikan kepada anak merupakan tuntutan syariat yang seimbang dengan tuntutan menuntut ilmu bagi seorang ibu. Ibu bijak, taat syariat. [MNews/YG]
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.
Comment here