Penulis: Ummu Nasir N.S.
Muslimah News, FOKUS TSAQAFAH – Perbincangan tentang kedudukan atau peran laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat selalu menarik untuk dibahas, bahkan sering kali mengundang perdebatan. Salah satunya adalah pembahasan tentang kemitraan keduanya, yakni bahwasanya laki-laki dan perempuan merupakan mitra kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana dalam media Mubadalah (18-9-2025), dibahas bahwa Al-Qur’an sendiri penuh dengan narasi tafsir kesetaraan yang menguatkan kesalingan dan kerja sama. QS At-Taubah ayat 71 menegaskan, “Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” Menurut media tersebut, ayat ini menunjukkan kesetaraan bahwa relasi laki-laki dan perempuan bukanlah subordinasi, melainkan kemitraan. Jika kemitraan ini dijalankan dalam keluarga, tentu juga harus berlaku dalam masyarakat dan pembangunan bangsa.
Selanjutnya dijelaskan, jika menoleh sejarah, banyak teladan perempuan yang justru menjadi pemimpin. Khadijah ra., misalnya, pengusaha tangguh yang menopang dakwah Nabi ﷺ. Aisyah ra., guru umat dan ulama yang meriwayatkan ribuan hadis sekaligus penggerak wacana pada masanya. Dalam lintasan sejarah Islam, perempuan pun hadir sebagai kadi, ulama, bahkan penguasa. Artinya, kepemimpinan perempuan bukanlah hal asing dalam tradisi Islam. Jika kepemimpinan dipahami sebagai amanah, siapa pun yang berkapasitas—laki-laki maupun perempuan—berhak memegangnya.
Selanjutnya media tersebut mengutip sabda Rasulullah ﷺ hadis riwayat Muslim, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Hadis ini disebut tidak membatasi kepemimpinan hanya pada laki-laki, melainkan menekankan amanah yang melekat pada setiap manusia sesuai kapasitasnya.
Namun, jika kita cermati, semua pendapat di atas sejatinya mengacu pada prinsip kesalingan yang merupakan turunan dari ide atau konsep kesetaraan gender. Lalu, benarkah kemitraan dalam Islam didasari prinsip kesetaraan? Bagaimana pula konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam? Inilah yang perlu kita dalami, terutama terkait nas-nas yang dijadikan dasar argumentasi mereka.
Islam Tidak Mengenal Konsep Kesetaraan Gender
Tidak dimungkiri, antusiasme sebagian umat Islam terhadap ide kesetaraan gender cukup besar. Hal ini tampak dari upaya mereka menghubungkannya dengan Islam—yang dalam pemahaman mereka, konsep kesetaraan gender merupakan spirit ajaran Islam. Padahal, jika jeli menilai, kita akan mendapati pertentangan yang sangat jauh antara spirit feminisme dan Islam, juga antara kesetaraan gender dan Islam, dari sisi mana pun.
Tatkala masyarakat dunia memandang rendah perempuan, Islam datang di belahan dunia Arab justru untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Islam datang membawa perubahan pada nasib perempuan. Islam menyatakan bahwa kemuliaan adalah milik laki-laki maupun perempuan sebagaimana firman Allah di dalam QS Al-Hujurat ayat 49, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”
Islam juga memberikan perempuan hak untuk mendapat warisan, hak memperoleh mahar, serta hak untuk menikah dengan laki-laki yang ia setujui. Perempuan berhak untuk memiliki hartanya sendiri, hak untuk dilindungi dan dinafkahi, serta hak untuk dipastikan bahwa ia bisa menjalankan fungsi keibuannya secara sempurna.
Perempuan pun mendapat hak untuk mengakses pendidikan, sarana kesehatan, dan jaminan keamanan. Ia juga akan dibukakan pintu untuk melakukan aktivitas muamalah, memilih pemimpin, menyampaikan aspirasi kepada penguasa, berdakwah, dan ikut berlomba dalam kebaikan di dalam koridor syarak. Semua kemuliaan dan kehormatan tersebut tetap terpelihara sepanjang kaum muslim meyakini dan menerapkan Islam dalam kehidupan.
Dari sini jelas bahwa kesetaraan gender tidaklah lahir dari peradaban Islam. Ajaran Islam yang luhur justru menempatkan posisi perempuan sebagai pencetak generasi dan mitra laki-laki dalam membangun peradaban. Jauh sebelum perempuan Barat menuntut keadilan, kaum muslimah telah memperoleh hak-haknya.
Selain itu, sesungguhnya kesetaraan gender juga bertentangan dengan Islam. Beralihnya kepemimpinan laki-laki kepada perempuan dalam rumah tangga, hilangnya kewajiban mencari nafkah dari pundak suami, terhapusnya ketaatan pada suami dan hukum nusyuz (karena dianggap sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan) sesungguhnya bertentangan dengan hukum Allah (lihat QS An-Nisa: 34). Alhasil, setiap muslim tidak boleh mengambil apalagi memperjuangkan ide kesetaraan gender.
Makna Kemitraan Laki-Laki dalam Pandangan Islam
Islam telah mengatur dengan sangat terperinci mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Nizham al-Ijtimaiy fil Islam, menjelaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan yang alamiah dan harus diatur. Masyarakat harus memiliki peraturan yang dapat menghapuskan dominasi pikiran tentang hubungan yang bersifat seksual melulu, menjadi difokuskan pada tujuan penciptaan naluri. Ini agar masyarakat mampu mempertahankan naluri seksual dan menempatkannya secara benar pada tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Masyarakat juga harus memiliki peraturan yang dapat mempertahankan sikap taawun (tolong-menolong) atau kerja sama tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam hidup bermasyarakat. Ini karena tidak ada kebaikan dalam suatu komunitas masyarakat, kecuali dengan adanya tolong-menolong di antara keduanya—sebagai dua pihak yang saling bersaudara dan menanggung berdasarkan kasih sayang. Pandangan ini harus didominasi oleh ketakwaan kepada Allah ﷻ sehingga selaras dengan tujuan tertinggi seorang muslim, yaitu mendapatkan rida-Nya.
Banyak nas menjelaskan tentang konsep taawun, di antaranya QS At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi Rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 71).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan {بَعْضٍ أَوْلِيَاءُ بَعْضُهُمْ} “sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain” adalah sebagian dari mereka saling bantu dan saling mendukung dengan sebagian yang lain. Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih,
“المؤمن للمؤمن كالبنان يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا”
“Seorang mukmin bagi orang mukmin lain sama dengan bangunan, sebagian darinya mengikat sebagian yang lain.” Lalu Rasulullah ﷺ merangkumkan jari jemari kedua telapak tangannya.
Abu Asy-Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya {بَعْضٍ أَوْلِيَاءُ بَعْضُهُمْ}, yakni, “Mempersaudarakan mereka karena Allah, saling mencintai karena keagungan Allah, dan saling melindungi karena Allah.” Menurut Imam Asy-Syaukani, “Hati mereka sama dalam hal saling menyayangi, saling mengasihi, dan saling mencintai disebabkan kesamaan mereka dalam masalah agama, dan mereka dipersatukan dengan keimanan kepada Allah.” Sedangkan Abu Ja’far dalam Tafsir Ath-Thabari, Allah ﷻ berfirman, “Adapun orang-orang mukmin dan mukminat, mereka adalah orang-orang yang membenarkan.”
Jika kita perhatikan dengan saksama pendapat para ulama tafsir, sangat tegas bahwa kemitraan laki-laki dan perempuan bersifat mutlak. Bukan karena adanya kesetaraan atau tidak, melainkan keduanya didasari karena keimanan dan ketaatan kepada Allah Taala.
Makna Hadis Kepemimpinan
Tidak salah jika dikatakan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah hal yang asing dalam syariat Islam, bahkan diatur dengan sedemikian terperinci. Hanya saja, kita perlu mendetailkan hadis yang mereka jadikan hujah agar tidak terjadi gagal paham. Hadis tersebut harus ditelaah secara utuh, tidak boleh memenggalnya sesuai kebutuhan atau keinginan kita.
Rasulullah ﷺ bersabda, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu ‘Umar, “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang hamba (buruh) pemimpin harta milik majikannya akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkan bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari).
Peran kepemimpinan dalam hadis ini sama sekali tidak menunjukkan adanya superioritas derajat yang satu atas yang lain. Pemimpin negara tidak dianggap lebih mulia dari rakyatnya. Seorang laki-laki sebagai suami tidak pula dianggap lebih mulia dibandingkan istri dan anak-anaknya. Masing-masing memiliki peran khas sebagai amanah yang telah Allah tetapkan untuk dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Sebagai pemimpin dalam keluarga, laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya untuk melindungi, mencukupi nafkah, memberikan rasa aman, dan sebagainya. Sedangkan perempuan sebagai pemimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, mengandung pengertian bahwa ia berperan merawat, mengatur, dan menyelesaikan urusan di rumahnya agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan anggota keluarganya. Selain itu, ia bertanggung jawab merawat, mengasuh, dan mendidik agar kelak anak-anaknya menjadi orang mulia di hadapan Allah.
Dengan perannya ini, perempuan telah memberikan sumbangan besar kepada negara dan masyarakat. Ia mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu-individu yang saleh dan muslih di tengah masyarakat. Dengan begitu bisa, dikatakan bahwa kepemimpinan perempuan ini berperan melahirkan pemimpin-pemimpin lainnya di tengah umat. Sungguh merupakan peran yang luar biasa yang tidak bisa dianggap remeh.
Lebih dari itu, dijelaskan pula dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur dalam Penjelasan Pasal 116 “Masyru’ ad-Dustuur”, disebutkan bahwa Islam telah memberikan ruang yang leluasa bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan untuk terlibat dalam berbagai muamalah, melakukan amar makruf nahi mungkar, memperhatikan urusan umat, dan sebagainya. Perempuan juga tidak dihalangi untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat selama bukan terkait aktivitas kekuasaan. Misalnya, menjadi pemimpin dalam lembaga pendidikan, menjadi kepala sekolah, direktur, atau kadi (hakim), dan sebagainya. Sedangkan terkait aktivitas kekuasaan, hal ini sesuai dengan tuntutan yang ada di dalam nas.
Tidak Perlu Iri
Islam sebagai din yang sempurna, memiliki pandangan unik tentang kedudukan laki-laki dan perempuan, mengenai hubungan keduanya, serta bentuk kehidupan masyarakat yang hendak dibangun di atas landasan akidah dan aturan-aturannya.
Islam memandang bahwa Allah ﷻ telah menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan dan memberikan seperangkat potensi yang sama pada keduanya, yakni berupa akal (berfungsi untuk memahami, bukan menghukumi sesuatu), serta potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani) yang cara pemenuhannya telah diatur. Hal ini bukan karena adanya kesetaraan atau tidak, melainkan karena memang demikianlah Allah mengatur dengan aturan-aturan-Nya yang sempurna.
Di samping itu, Islam memandang bahwa masyarakat merupakan kesatuan utuh yang tidak mungkin dipilah menjadi komunitas perempuan dan komunitas laki-laki yang satu sama lain saling berebut peran dan posisi. Justru adanya pembagian peran dan fungsi keduanya–yang landasannya adalah aturan Allah—menyebabkan mereka dapat bekerja sama untuk meraih tujuan-tujuan bersama.
Dalam Islam, penilaian prestasi tidaklah didasarkan kepada jenis peran yang dimainkan dan seberapa banyak materi yang dihasilkan, melainkan diukur oleh tingkat ketaatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, terhadap aturan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, keduanya sama-sama berpeluang untuk meraih ketinggian derajat orang-orang yang bertakwa di sisi Allah ﷻ. Bahkan, bisa dipahami dengan adanya berbagai perbedaan yang ada, keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi. Keduanya pun dipandang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat. Inilah sebabnya Allah ﷻ memerintahkan agar keduanya rida terhadap apa pun yang telah ditentukan-Nya, dan melarang keduanya saling iri dan dengki dengan kelebihan yang diberikan atas sebagian lainnya.
Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain, (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An-Nisa’: 32). Wallahualam bissawab. [MNews/GZ]
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.
Comment here