Fikh

Pemerintah Membolehkan Aborsi, Sudahkah Sesuai Syariat Islam?

Penulis: Ummu Nashir N.S.

Muslimah News, FOKUS TSAQAFAH — Presiden Jokowi resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Kesehatan pada Jumat (26-7-2024) lalu. Banyak pihak yang menilai PP ini kontroversial dan bertentangan dengan syariat Islam dalam beberapa pasalnya. Antara lain tentang pemberian alat kontrasepsi pada anak usia sekolah dan remaja yang masuk dalam pelayanan kesehatan reproduksi, pasal yang membolehkan aborsi secara mutlak pada korban perkosaan, serta larangan sunat perempuan.

Terkait aborsi, dalam PP ini dijelaskan bahwa praktik aborsi diperbolehkan dengan dua kondisi tertentu yaitu, indikasi kedaruratan medis dan korban tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.

Dalam Pasal 118 dijelaskan bahwa tindakan aborsi untuk korban kekerasan seksual baru dapat dilakukan dengan dua syarat. Pertama, dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Kedua, dibuktikan dengan keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Pasal kesehatan terkait syariat seharusnya mengikuti aturan agama, bukan dipandang sekadar persoalan kesehatan. Sudah semestinya negara mempertimbangkan syariat Islam yang notabene merupakan agama mayoritas di negeri ini.

Menuai Kontroversi 

Seperti biasa, lahirnya kebijakan apa pun di negeri sekuler kapitalisme selalu menuai kontroversi dari berbagai kalangan, termasuk peraturan yang dikeluarkan pemerintah negeri ini. Terlebih salah satu topik pembahasan dalam pasalnya terkait dengan aborsi, pembunuhan janin.

Pelayanan kesehatan reproduksi memungkinkan terjadinya pergaulan bebas di kalangan remaja. Pasal aborsi juga bisa dimanipulasi sebagai legalisasi aborsi apabila dari pergaulan bebas tersebut pihak perempuan hamil. Penetapan kebolehan aborsi pada korban perkosaan secara mutlak juga bertentangan dengan syariat. Wajar jika pada akhirnya memunculkan kontroversi.

Dalam tanggapannya, MUI telah menolak pasal-pasal tersebut karena ada beberapa kondisi yang bertentangan dengan syariat. Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah K.H. Cholil Nafis mengatakan, peraturan pemerintah itu sudah sesuai dengan ajaran Islam, tetapi masih kurang ketentuan soal kebolehan aborsi.

Ia mengatakan, “PP 28 tahun 2024 tentang Kesehatan soal aborsi Pasal 116—119 sudah sesuai dengan Islam, hanya kurang ketentuan soal boleh aborsi karena diperkosa itu harus usia kehamilannya sebelum usia 40 hari, bahkan ulama sepakat tidak boleh aborsi sesudah ditiupnya ruh, usia kehamilan di atas 120 hari.” (Republika, 1-8-2024).

Beliau pun menunjukkan Fatwa Musyawarah Nasional VI MUI tentang aborsi. Fatwa MUI ini telah ditetapkan di Jakarta sejak 29 Juli 2000 lalu. Dalam fatwa ini, MUI menetapkan dan memutuskan bahwa melakukan aborsi setelah ditiupkannya roh (ruh), hukumnya haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu. Selain itu, ditetapkan juga bahwa melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syariat Islam. (Republika, 1-8-2024).

Kalangan praktisi kesehatan pun angkat bicara tentang PP ini. Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi Pengurus Besar IDI Ari Kusuma Januarto menuturkan perlu adanya diskusi antara para ahli dan pemerintah untuk menentukan batas usia janin yang dapat diaborsi. Hal itu disampaikan Ari dalam temu media di Jakarta, Jumat, sebagai respons dari pertanyaan awak media mengenai peraturan dalam KUHP atau Pasal 463 UU1/2023 yang menyebutkan bahwa aborsi dilakukan pada janin yang usianya di bawah 14 minggu. (Antara News, 2-8-2024).

Sesungguhnya, adanya kontroversi terkait kebijakan atau aturan yang dibuat penguasa negeri ini sudah sering terjadi. Hal ini wajar karena aturan yang lahir dalam negeri sekuler—termasuk negeri ini—lahir dari buah pikir manusia yang berpotensi besar untuk terjadinya pertentangan akibat tidak berdasarkan aturan yang baku.

Memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat aturan sesuai kehendaknya, maka yang terjadi adalah kekacauan, bukan ketenteraman. Harus kita akui dengan jujur bahwa manusia lemah dan akal manusia terbatas. Tidak aneh jika aturan yang dibuat oleh manusia ini akan menguntungkan pihak yang satu dan sebaliknya akan merugikan pihak lain. Cocok bagi pihak yang satu, tetapi tidak cocok untuk yang lain.

Jika demikian halnya, masihkah kita berharap pada sistem aturan buatan manusia yang lemah dan terbatas ini? Tentu tidak! Saatnya kita kembali kepada aturan Islam, aturan yang datang dari Allah Yang Maha Sempurna. Aturan yang datang dari Sang Pencipta manusia, yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya.

Walhasil, hanya aturan Islamlah yang sesuai fitrah manusia dan memuaskan akal manusia sehingga melahirkan ketenteraman. Hanya aturan Islam yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang menimpa manusia, termasuk persoalan aborsi. Lalu, bagaimana Islam mengaturnya?

Aborsi menurut Hukum Islam

Kaum muslim wajib memahami mengenai hukum aborsi, baik dari kalangan medis maupun masyarakat pada umumnya. Bagi seorang muslim, syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Keterikatan dengan syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Allah Taala.

Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka.” (QS An-Nisa’: 65).

Dan tidak patut bagi seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al-Ahzab: 36).

Abdurrahman al-Baghdadi (1998) dalam buku Emansipasi, Adakah dalam Islam? hlm. 127—128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah roh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya roh, yaitu setelah empat bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fikih (fukaha) sepakat akan keharamannya. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya roh. Ada sebagian memperbolehkan, sebagian yang lain mengharamkannya.

Ulama yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan roh antara lain Muhammad Ramli, dalam kitabnya An0Nihayah, dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Sedangkan yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan roh antara lain Ibnu Hajar dalam kitabnya At0Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.

Bahkan, Mahmud Syaltut, Mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan sel telur, aborsi adalah haram sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama “manusia” yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin, jahat dan besar dosanya jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh.

Pendapat yang disepakati fukaha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya roh (empat bulan) didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan roh terjadi setelah empat bulan masa kehamilan.

Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan roh kepadanya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).

Oleh karena itu, aborsi setelah kandungan berumur empat bulan adalah haram karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syarak berikut.

Firman Allah Swt., “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rezeki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al-An’am: 151).

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al-Isra’: 31).

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syarak).(QS Al-Isra’: 33).

Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (QS At-Takwir: 8—9).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur empat bulan. Sebanya, dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan adalah pendapat yang tidak kuat. Sebabnya, kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu.

Kehidupan (al-hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh al-Isytirakiyah al-Marksiyah (1963) halaman 85, “Sesuatu yang ada pada organisme hidup. (Asy syai’ al qa’im fi al ka’in al-hayyi).”

Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilitas, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan. Jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al-hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, merupakan pendapat yang lemah sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al-hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma.

Nyatanya, faktanya tidak demikian. Andaikan katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal, Rasulullah saw.telah membolehkan ‘azl. Artinya, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan justru akan bertentangan dengan hadis-hadis yang membolehkan ‘azl.

Perihal Aborsi yang Dilakukan Sebelum Janin Berusia Empat Bulan

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur empat bulan, para fukaha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman al-Baghdadi (1998), hukum syarak yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut.

Jika aborsi dilakukan setelah 40 hari atau 42 hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, hukumnya haram. Dalam hal ini, hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan roh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, hukumnya boleh (jaiz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam, halaman 45—56; Abdurrahman al-Baghdadi, 1998, Emansipasi, Adakah dalam Islam?, halaman 129).

Dalil syarak yang menunjukkan bahwa aborsi haram apabila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadis Nabi saw. berikut, “Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat 42 malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan.(HR Muslim dari Ibnu Mas’ud ra.). Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda, “(Jika nutfah telah lewat) 40 malam…”

Hadis di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya adalah setelah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud-dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut apabila kandungannya telah berumur 40 hari. Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diat manusia sempurna (10 ekor unta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadis sahih dalam masalah tersebut.

Rasulullah saw. bersabda, “Rasulullah saw. memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan.” (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra.).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, hukumnya boleh (jaiz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena ia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia. Pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum, dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan dan hal ini tidak dilarang dalam Islam (lihat Abdul Qadim Zallum, 1998).

Bagaimana dengan Aborsi karena Kedaruratan Medis?

Dalam PP 28/2024 dibahas tentang kebolehan aborsi karena kedaruratan medis. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 117 bahwa kedaruratan medis yang dimaksud adalah kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kondisi kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.

Dalam pandangan Islam, jika dokter yang tepercaya dengan pemeriksaan saksama mendapati bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus, dalam kondisi seperti ini, dokter dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan roh padanya. Hal ini dilakukan dalam rangka mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu.

Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah Swt., “Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah: 32).

Di samping itu, aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk upaya pengobatan. Rasulullah saw. sendiri telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Beliau bersabda “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!(HR Ahmad).

Kaidah fikih dalam masalah ini menyebutkan, “Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima (Jika berkumpul dua mudarat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan mudaratnya).” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi’ Awaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawa’id al-Fiqhiyah, halaman 35).

Berdasarkan kaidah ini, seorang perempuan dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun hal itu berarti membunuh janinnya. Memang menggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat, tetapi begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga merupakan suatu mafsadat. Namun, tidak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan mudaratnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut. (Abdurrahman al-Baghdadi, 1998).

Lalu, bagaimana dengan janin yang secara medis diketahui akan menjadi cacat, apakah boleh diaborsi? Secara syar’i, hukumnya tetap haram. Ini karena dalil-dalil umum yang mengharamkan aborsi telah sangat jelas. Selama tidak terdapat dalil syarak yang men-takhsis (mengecualikan) dalil-dalil umum tersebut, maka hukum aborsi pada bayi cacat tetap haram. Dalam hal ini kaidah usul menyebutkan, “Al-‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid daliil al-takhshish (Dalil yang bersifat umum tetap berlaku dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan keumumannya).”

Hanya saja, jika keberadaan bayi cacat itu mengancam jiwa si ibu, dalam kondisi seperti ini aborsi dibolehkan secara syariat. Kondisi darurat memperbolehkan tindakan haram demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Kaidah fikih menyatakan, “Adh-dharuuratu tubiihu al-mahzhuuraat. (Keadaan darurat membolehkan apa-apa yang diharamkan).”

Bagaimana dengan Aborsi karena Korban Perkosaan?

Kebolehan aborsi yang disebutkan dalam Pasal 118 PP 28/2024 adalah kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan dibuktikan dengan sejumlah hal.

Memang bukan hal yang mudah untuk dihadapi ketika seorang perempuan mengalami pemerkosaan dan kemudian hamil. Akan tetapi, bagaimanapun, aturan Islam terkait aborsi yang sudah dipaparkan sebelumnya tetap berlaku. Bahwa dalam kasus ini tidak ada dalil yang mengkhususkannya sehingga tetap didasarkan pada keumuman nas. Artinya, tetap haram hukumnya dilakukan aborsi kepada janin yang dikandungnya setelah sang janin berusia lebih dari 40 hari, kecuali jika membahayakan nyawa sang ibu.

Dalam hal ini, tetap berlaku kaidah usul yang menyebutkan, “Al-‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid daliil al-takhshish. (Dalil yang bersifat umum tetap berlaku dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan keumumannya).”

Ada satu hal penting lagi yang perlu kita telusuri pasal ini, yakni terkait aborsi karena kekerasan seksual lain. Bisa saja ini dijadikan alasan kebolehan aborsi oleh seorang istri yang digauli suaminya sendiri, tetapi tidak ingin hamil. Dalam UU terkait kekerasan, ketika suami dinilai memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual, ia dinilai melakukan kekerasan terhadap perempuan dan dianggap sebagai tindak pidana. Hal inilah yang harus dikritisi.

Penanganan Negara Islam Terkait Aborsi

Islam adalah agama yang sempurna. Semua permasalahan manusia ada jawabannya dalam Islam. Fakta menunjukkan bahwa aborsi bukan sekadar masalah medis atau kesehatan masyarakat, tetapi juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat.

Oleh sebab itu, pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif dan mendasar. Intinya adalah dengan mencabut sikap membebek kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.

Negara Islam (Khilafah) akan memperbolehkan aborsi jika kehamilan belum berusia 40 hari dengan alasan karena hal ini sesuai dengan ketentuan syariat, sebagaimana dijelaskan di atas. Aborsi bisa dilakukan jika ada darurat medis, termasuk untuk menyelamatkan nyawa ibu. Namun dalam hal ini, negara akan memberikan kontrol ketat dalam menetapkan aborsi pada kasus tersebut.

Dalam kasus aborsi selain kasus di atas, Islam mengharamkannya karena dianggap sama dengan pembunuhan. Pembunuhan janin dikenakan diat sepuluh ekor unta, yaitu sepersepuluh diat pembunuhan orang dewasa. Jadi, aborsi bukanlah solusi bagi kehamilan tidak diharapkan atau hamil karena perkosaan.

Di lain pihak, Islam mewajibkan negara untuk mengurusi rakyatnya, termasuk persoalan kesehatan ibu. Negara wajib menyediakan layanan dan sarana kesehatan berkualitas yang terjangkau. Negara menjamin kesejahteraan setiap rakyat sehingga tidak ada aborsi karena alasan ekonomi. Juga menjamin keamanan sehingga tidak ada tindak kejahatan termasuk pemerkosaan.

Apabila terjadi pemerkosaan, negara akan menjamin kehidupan perempuan korban, termasuk apabila ia hamil. Negara juga akan menghukum pelaku pemerkosaan dengan hukum pelaku zina. Perzinaan merupakan dosa besar dalam Islam sehingga pelakunya akan mendapatkan hukum rajam atau cambuk, sesuai status pernikahan pelaku zina.

Islam akan menerapkan aturan Islam secara sempurna, termasuk di dalamnya sistem pergaulan. Sistem ini akan mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan dengan sangat terperinci, seperti melarang mendekati zina, larangan khalwat (berdua-duaan tanpa mahram), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), sebagainya.

Inilah bentuk komprehensifnya Islam dalam menyelesaikan permasalahan. Islam akan menyelesaikan seluruh masalah secara tuntas hingga ke akarnya. Wallahualam bissawab. [MNews/GZ]


source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

About Author

Comment here