Oleh: K.H. Shiddiq al-Jawi
Muslimah News, FIKIH — Tanya:
Ustaz Shiddiq, ini ada pertanyaan terkait sewa lahan untuk pertanian. Pertanyaannya adalah: 1. Apakah memelihara hewan (peternakan) termasuk pertanian? 2. Jika tidak termasuk pertanian, bagaimana jika lahan sewa untuk peternakan tersebut sekalian ditanami rumput pakan hewannya. Jazakumullah khairan katsira. (Edi Subroto, Yogyakarta).
Jawab:
Memelihara hewan atau peternakan menurut hukum Islam tidak termasuk pertanian (az-zirā’ah). Hal ini karena definisi pertanian (az-zirā’ah) yang dimaksudkan dalam hadis-hadis Nabi saw. sudah seharusnya diartikan menurut pengertian lama dari pertanian, yakni hanya terbatas kegiatan budidaya tanaman (cultivation), yaitu penanaman benih tanaman ke lahan pertanian (tanah). Demikian menurut kamus Al-Mu’jam al-Muwahhad li Mushthalahāt ‘Ilmi al-Hayāt yang secara singkat mengartikan pertanian (az-zirā’ah) dengan arti cultivation (budidaya tanaman). Makna serupa terdapat dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasīth, bahwa kata pertanian (az-zirā’ah) diterjemahkan sebagai hirfat az-zāri’ (profesi dari seorang pembudidaya tanaman), atau ilmu fallāh al-ardhi (ilmu tentang budidaya tanaman [cultivation] pada lahan pertanian). (Al-Mu’jam al-Muwahhad li Mushthalahāt ‘Ilmi al-Hayāt, Tūnis : Al-Munazhzhamat Al-‘Arabiyyah li at-Tarbiyyah wa ats-Tsaqāfah wa al-‘Ulūm, 1993, hlm. 103; Al-Mu’jam Al-Wasīth, hlm. 392).
Oleh karena itu, peternakan menurut hukum Islam tidaklah termasuk ke dalam pertanian, menurut makna bahasa (al-ma’na al-lughawi) untuk kata pertanian (az-zirā’ah) sebagaimana terdapat dalam kamus-kamus Bahasa Arab. Hal ini karena makna syar’i untuk kata pertanian (az-zirā’ah) tidak ada, demikian juga tidak ada makna ‘urfi-nya, yaitu makna menurut ‘urf (kebiasaan) di masa Nabi saw., maka kemungkinan pemaknaan yang tersisa adalah pemaknaan secara makna lughawi (makna kamus) sebagaimana dalam Ilmu usul fikih. Menurut ilmu usul fikih, urutan (tertib) pemaknaan istilah dalam nash-nash syara’, mengikuti tertib (urutan) sebagai berikut:
“Makna suatu kata pada dasarnya adalah diartikan menurut makna syar’i, kemudian jika tidak ada, diartikan menurut makna ‘urfi, yaitu makna menurut ‘urf (kebiasaan) pada masa Nabi saw., kemudian jika tidak ada, diartikan secara makna lughawi (makna kamus).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah, 3/181).
Oleh karena itu, makna bahasa itulah yang menjadi pegangan, bukan makna modern menurut ilmu pertanian bahwa peternakan termasuk ke dalam pertanian karena pengertian pertanian dalam arti modern adalah segala kegiatan untuk memproduksi pangan bagi manusia, pakan bagi ternak, dan serat (fiber), serta barang-barang lain melalui pengembangbiakan sistematis berbagai tanaman dan hewan. (Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/ زراعة).
Maka dari itu, jika seseorang menyewa lahan pertanian untuk kegiatan peternakan, hukumnya boleh, tidak haram karena dalil-dalil syar’i yang ada hanya melarang sewa lahan pertanian dengan tujuan menanami lahan pertanian itu dengan suatu komoditas pertanian, misalnya padi, jagung, dan sebagainya. Di antara dalil syar’i tersebut, adalah hadis dari Jabir ra. sebagai berikut,
“Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi saw. telah melarang diambil dari lahan pertanian upah sewanya atau bagi hasilnya.” (HR Muslim, no. 1536).
Oleh karena itu, menyewakan lahan pertanian, tetapi bukan untuk keperluan pertanian, hukumnya boleh, sebagaimana penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani sebagai berikut,
”Hanya saja, keharaman menyewakan lahan pertanian itu hanyalah jika penyewaannya untuk pertanian (lahan ditanami sesuatu). Adapun jika penyewaan tanah itu bukan untuk pertanian, hukumnya boleh, sebab boleh seseorang menyewa tanah untuk dijadikan tempat istirahat, tempat transit, gudang untuk barang dagangannya, atau untuk pemanfaatan apa pun di luar pertanian.” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm, hlm. 141).
Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan pertama, boleh hukumnya menyewakan lahan pertanian untuk keperluan peternakan karena peternakan tidak termasuk ke dalam pengertian pertanian. Misalnya, di lahan pertanian dibangun kandang ayam untuk beternak ayam, atau yang semisalnya.
Adapun jika lahan yang disewa untuk peternakan itu ditanami rumput untuk peternakan, hukumnya haram, berdasarkan kaidah fikih,
“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.” (Imam Jalāluddīn as-Suyūṭiy, Al-Ashbāh wa an-Naẓā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa an-Naẓā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Ῑḍāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Aḥmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).
Berdasarkan kaidah tersebut, berarti penanaman sebagian lahan dengan rumput pakan ternak, hukumnya haram, karena sewa lahan untuk peternakan yang hukumnya halal telah bercampur dengan sewa lahan untuk pertanian (yaitu penanaman rumput pakan ternak) yang hukumnya haram. Kondisi akhirnya adalah percampuran antara yang halal dengan yang haram maka sesuai kaidah fikih itu, hukum akhirnya adalah haram untuk aktivitas secara keseluruhan karena hukum haram mengalahkan hukum halal jika halal dan haram bertemu.
Kesimpulannya, jawaban untuk pertanyaan kedua, tidak boleh (haram) hukumnya jika lahan pertanian disewakan untuk peternakan, tetapi ada sebagian lahan itu yang ditanami rumput untuk pakan hewannya. Wallahualam. [MNews/Rgl]
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.
Comment here