Penulis: Sumaya Bint Khayyat
Muslimah News, FOKUS KELUARGA — Pada era keterbukaan digital saat ini, seolah tidak ada yang namanya privasi. Bahkan, momen paling intim dalam kehidupan anak-anak pun kini diperjualbelikan di platform media sosial. Bukan hanya sebagai konten, melainkan juga sebagai komoditas.
Kidfluencer dan family vlogger telah menjadi wajah dari tren ini. Fenomena yang tidak hanya menjunjung tinggi kepentingan komersial, tetapi juga melanggar hak-hak dasar anak-anak. Di balik video-video yang tampaknya tidak berbahaya tersebut, terdapat ketakseimbangan struktural yang berakar dalam pada pandangan dunia sekuler, kapitalistis, dan individualistis dari Barat modern.
Apa Itu Kidfluencer dan Family Vlogger?
Kidfluencer adalah anak-anak dengan banyak pengikut di media sosial—yang sering kali dikelola oleh orang tua mereka. Sedangkan family vlogger adalah keluarga yang senantiasa mendokumentasikan kehidupan mereka, termasuk anak-anak mereka, kemudian membagikan berbagai video mereka ke ratusan ribu atau bahkan jutaan pemirsa. Mereka pun memperoleh penghasilan melalui iklan, sponsor, dan kesepakatan merek (endorse, ed.).
Hal yang mungkin dimulai sebagai “cara yang tidak berbahaya” untuk mendokumentasikan kenangan, dalam banyak kasus telah berkembang menjadi model eksploitasi. Dalam arti, anak-anak—bahkan sejak lahir—digunakan sebagai instrumen untuk mendapatkan profit.
Kekhawatiran dari Studi (Riset) dan Pemerintah
Sebuah Studi Eksplorasi tentang Penggunaan Anak-Anak dalam Vlog Keluarga dan Konten Media Sosial yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial dan Ketenagakerjaan Belanda (SZW, 2020), memunculkan pertanyaan yang mengkhawatirkan tentang perlindungan anak di bidang ini.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa hampir tidak ada perlindungan hukum bagi anak-anak yang bekerja di media sosial. Anak-anak sering kali ditampilkan secara intensif dan sering tanpa pengawasan atau dukungan. Bahkan, tidak ada pemantauan terhadap pendapatan yang diperoleh orang tua melalui anak-anak mereka.
Studi lanjutan SZW pada 2022 kembali menegaskan poin-poin ini: kepentingan komersial orang tua dan perusahaan lebih penting daripada perkembangan mental dan sosial anak! Tren ini mencerminkan masyarakat yang mengutamakan keuntungan individu daripada kepedulian kolektif dan tanggung jawab etis.
Sisi Gelap: Tempat Berkembangnya Kekerasan
Selain eksploitasi ekonomi, ada risiko serius terkait kekerasan terhadap anak. Para ahli memperingatkan bahwa mengekspos anak-anak di depan umum di platform digital akan menarik perhatian yang tidak diinginkan dari para pedofil. Konten—yang sering kali tampak tidak berbahaya—dibagikan, disunting, dan difetisisasi di jaringan daring tertentu.
Hal ini mengungkap kenyataan pahit mengenai ide kebebasan Barat, yakni bahwa orang tua pada dasarnya berhak mengeksploitasi anak-anak mereka secara daring dengan kedok “pilihan pribadi”. Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar, yaitu anak itu sendiri: mereka diekspos tanpa persetujuan, tanpa pemahaman akan konsekuensinya, serta tanpa perlindungan hukum.
Akar Masalah: Sistem Sekuler Kapitalisme dan Individualisme
Tempat berkembang biaknya fenomena ini sesungguhnya adalah sistem sekuler kapitalisme Barat—yang mengutamakan keuntungan individu dan ekonomi. Dalam sistem ini, peran sebagai orang tua tidak dilihat sebagai amanah (kepercayaan), melainkan sebagai masalah pribadi yang mana orang tua menikmati kebebasan yang tidak terkontrol untuk memanfaatkan anak-anak mereka demi keuntungan pribadi.
Selain itu, anak-anak makin dipandang sebagai perpanjangan ego orang tua—simbol status, brand, maupun sumber pendapatan. Perusahaan media dan Big Tech memungkinkan hal ini dengan merancang algoritma yang mendorong konten yang berfokus pada anak tanpa batasan.
Penyimpangan sistemis ini akhirnya merusak martabat anak dan mengikis ikatan keluarga.
Perspektif Islam: Tanggung Jawab, Perlindungan, dan Kehormatan
Dalam Islam, menjadi orang tua adalah tanggung jawab yang sakral. Anak-anak bukanlah harta benda, melainkan amanah dari Allah Taala. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Sahih al-Bukhari).
Dalam Islam, orang tua berkewajiban untuk membesarkan anak-anak mereka dalam lingkungan yang penuh rasa hormat, keimanan, dan perlindungan. Ada kaidah “laa dhararaa wa laa dhirara” (لا ضرر ولا ضرار) yang menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan menyakiti anak-anak mereka, baik secara fisik maupun emosional—termasuk dengan tidak mengekspos mereka di ranah publik.
Islam mewajibkan orang tua untuk memberikan pendidikan moral dan spiritual yang baik, serta privasi dan martabat. Kehormatan dan privasi anak adalah hal sakral. Berbagi gambar atau konten pribadi yang privat/intim, jelas melanggar etika Islam.
Ada beberapa hak anak dalam Islam, yaitu hak atas nama dan identitas; perlindungan dan keamanan; pangan, sandang, dan papan; cinta dan kasih sayang; pendidikan dan pendidikan moral; hingga privasi dan martabatnya.
Allah Swt. berfirman dalam QS At-Tahrim [66] ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Masyarakat Islam Mencegah Eksploitasi
Masyarakat Islam—yang diatur oleh prinsip-prinsip syariat—telah menetapkan batasan-batasan yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan tersebut.
Pertama, regulasi media. Anak-anak tidak boleh dieksploitasi secara komersial tanpa persetujuan dan perlindungan yang tepat.
Kedua, akuntabilitas sosial. Menjadi orang tua bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan tugas yang terikat norma agama dan masyarakat.
Ketiga, ekonomi moral. Keuntungan tidak boleh diperoleh melalui eksploitasi terhadap yang rentan, khususnya anak-anak.
Keempat, perwalian komunitas. Umat Islam berfungsi sebagai kompas moral untuk mengoreksi kerusakan publik dan melindungi nilai-nilai komunal.
Khatimah: Kembali ke Martabat Manusia
Fenomena kidfluencer dan family vlogger bukanlah tren yang tidak berbahaya. Justru tren ini merupakan gejala dari masalah yang jauh lebih dalam, yakni kegagalan individualisme sekuler untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi.
Anak-anak tidaklah memerlukan pemirsa. Yang mereka perlukan adalah perlindungan! Dalam hal ini, Islam tidak hanya memberikan kerangka spiritual, melainkan juga kerangka praktis yang memosisikan anak sebagai manusia bermartabat; dan orang tua dipandang sebagai penjaga, bukan produser konten. Wallahualam. [MNews/GZ]
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.
Comment here