Pendidikan Anak

Angka Perceraian Terus Meningkat, Butuh Solusi Islam

Penulis: Ummu Nashir N.S.

Muslimah News, FOKUS — Angka perceraian di negeri ini terus mengalami peningkatan. Dari data yang dihimpun Kemenag, pada 2024 angka perceraian mencapai 466.359 kasus dan pernikahan mencapai 1.478.424 kejadian. Dibandingkan dengan 2023, angka perceraian mengalami kenaikan dari 463.654 kasus dan pernikahan justru berkurang dari 1.577.255 kejadian. Mirisnya lagi, sebagian besar perceraian terjadi karena istri yang menggugat cerai suami.

Berdasarkan data-data ini, Menag memandang menjadi lampu merah bagi ketahanan keluarga di Indonesia. Apalagi mayoritas mereka yang bercerai adalah pasangan muda di bawah lima tahun. Oleh sebab itu, peran BP4 bersama Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi sangat krusial dalam membentuk ketahanan keluarga.

Kemenag kemudian mencanangkan 11 langkah strategis mediasi yang dapat dilakukan oleh BP4. Menag menegaskan bahwa BP4 harus terjun melakukan mediasi rumah tangga, penyelesaian konflik, deteksi dini kekerasan dalam rumah tangga, edukasi pranikah kepada remaja, hingga bimbingan perkawinan yang berkelanjutan. (Antara News, 25-4-2025).

Tidak dimungkiri memang telah banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak. Akan tetapi, mengapa kasus perceraian ini tidak kunjung mereda, malah jumlahnya terus meningkat?

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Sesungguhnya, upaya yang dilakukan, seperti penyuluhan dan pelatihan pengantin maupun mediasi, termasuk 11 langkah strategis mediasi ini tidak menyentuh akar masalah. Pernikahan atau hidup berkeluarga tidaklah berdiri sendiri, tidak sebatas permasalahan di antara pasangan suami istri.

Banyak faktor—termasuk sosial dan ekonomi—yang menjadi penyebab perceraian, misal kemiskinan, ketakharmonisan, KDRT, hingga kasus judi online. Terlebih dalam rumah tangga muda, kelabilan emosi pasangan dan faktor ekonomi dituding menjadi penyebab utama. Namun, berbagai penyebab ini sesungguhnya hanyalah persoalan cabang, bukan akar masalahnya sebab sistem kehidupan yang tengah diterapkan sangat memengaruhi ketahanan keluarga.

Apabila kita dalami penyebab maraknya perceraian di Indonesia, semua bermuara pada satu hal, yaitu penerapan sistem kehidupan kapitalistik beserta turunannya, yakni liberalisme, sekularisme, dan feminisme. Sistem hidup dalam kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Sekularisme meniadakan peran agama dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga dan menjauhkan motivasi ibadah dalam keluarga.

Parahnya lagi, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan akses terhadap sumber daya hanya bagi orang-orang yang memiliki modal. Muncul kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Sistem ini pula yang menjadikan semua kebutuhan dibisniskan. Kebutuhan terhadap pendidikan dan layanan kesehatan pun menjadi teramat mahal. Tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Apalagi pada pasangan muda yang perekonomiannya belum stabil.

Ditambah belum stabil juga secara emosi, menjadikan suami rentan melakukan KDRT. Istri pun mudah mengambil keputusan singkat, menentukan langkah sendiri, mencari pekerjaan, pergi dari suami menjadi TKW di luar negeri, ataupun berpaling ke laki-laki lain. Belum lagi makin tersebarnya feminisme yang membuat perempuan merasa punya hak yang sama untuk mencari uang. Akhirnya, semua berujung pada perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suaminya.

Adapun liberalisme, paham yang mengedepankan kebebasan individu, penampakannya sudah begitu nyata di masyarakat. Perempuan yang tidak menutup aurat, berkhalwat, dan pergaulan yang tidak mengenal batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Tidak hanya suami berselingkuh, istri juga sering kebablasan, terlebih dengan menjamurnya media sosial menyebabkan peluang berselingkuh makin terbuka lebar. Dalam liberalisme, masalah perselingkuhan dianggap masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. Kontrol sosial pun menjadi mandul.

Inilah sejatinya penyebab tingginya perceraian. Telah sangat nyata bahwa sistem sekuler kapitalisme yang mencengkeram negeri ini terbukti gagal memberikan kesejahteraan. Juga malah melahirkan banyak kesulitan keluarga yang memicu meningkatnya jumlah perceraian.

Oleh karenanya, penguatan ketahanan keluarga tidak akan bisa terwujud selama akar masalahnya, yakni sekularisme kapitalisme, tidak disingkirkan. Hanya sistem Islam yang datang dari Allah yang akan mampu mengatasi makin meningkatnya kasus perceraian.

Kembali pada Islam Kafah

Diterapkannya sistem sekuler kapitalisme menjadikan umat Islam kehilangan peluang untuk kembali tampil menjadi entitas terbaik dan terdepan (khairu ummah) sebagaimana fitrahnya. Berbagai permasalahan datang mengintai kehidupan umat Islam, termasuk kehidupan berkeluarga. Tentu saja kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Umat Islam harus segera bangkit dari keterpurukan dengan jalan kembali kepada Islam kafah.

Keluarga muslim, termasuk para ibu, harus kembali berfungsi sebagai “benteng umat” yang kokoh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi.

Jika saja seluruh hukum Islam diterapkan di muka bumi, tentu saja kasus perceraian yang terus meningkat di negeri-negeri kapitalis tidak akan pernah terjadi. Seorang istri tidak akan teracuni berbagai bisikan atau pemikiran yang tidak benar mengatasnamakan “kemandirian perempuan”. Seorang suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Demikian pula seorang istri, akan menjalankan kewajiban dan menuntut hak dengan baik.

Alhasil, pernikahan sebagai sesuatu yang bernilai ibadah merupakan hal yang niscaya. Setiap keluarga muslim yang hidup di dalam sistem Islam pun akan berupaya maksimal untuk mempertahankan pernikahannya.

Pernikahan bukan hanya berkaitan dengan dua orang yang menikah, melainkan terkait kualitas generasi mendatang. Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dari pelaksana syariat Islam. Dari keluargalah akan lahir generasi yang kuat akidah dan akhlaknya untuk mewujudkan kembali Islam sebagai sebuah negara.

Dengan demikian, saat Negara Islam belum terwujud, menjadi kewajiban setiap pasangan untuk menjaga kekukuhan keluarga. Agar institusi terkecil tersebut tidak mampu dihancurkan kaum kafir yang notabene tidak pernah rida dengan kekuatan Islam, sampai Islam tegak kembali menjadi negara. Sudah menjadi kewajiban suami istri untuk melanggengkan sebuah ikatan pernikahan dan kehidupan keluarga dengan selalu terikat dengan hukum Allah Taala.

Selain itu sebagai din yang sempurna, Islam juga memberikan seperangkat aturan untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga saat prahara ini menerpa. Misalnya, memberikan solusi pada perselisihan yang terjadi di antara suami istri.

Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa: 35).

Sistem Islam Punya Solusi Menjaga Ketahanan Keluarga

Sistem Islam berbeda dengan kapitalisme. Khilafah Islam adalah sebuah konsep pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam. Seluruh aspek bermasyarakat dan bernegara diatur dengan syariat Islam. Penerapan Islam oleh negara tidak hanya mewujudkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga ketenteraman hidup setiap warganya.

Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan. Negara memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Islam mewajibkan suami atau para wali untuk mencari nafkah (lihat QS Al-Baqarah ayat 233, QS An-Nisa ayat 34). Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memenuhi nafkah pada keluarga, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal usaha. Melalui khalifah, Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik.

Meski perempuan tidak bekerja dan tidak mempunyai uang, kedudukan mereka tidak menjadi rendah di depan suaminya ataupun berpeluang besar dianiaya. Istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya dan kehidupan yang tenang.

Islam menetapkan bahwa pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan.Kewajiban nafkah ada di pundak suami yang apabila dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri istri. Hal inilah yang akan menciptakan mawaddah wa rahmah dalam berkeluarga.

Pelaksanaan aturan Islam secara kafah oleh negara akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak-anaknya, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kebahagiaan hidup, dan kemakmuran. Dengan penerapan hukum Islam, kemuliaan para ibu sebagai pilar keluarga dan masyarakat akan terjaga sehingga mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, istri, ibu, maupun anggota masyarakat. Peran politis dan strategis mereka pun berjalan dengan begitu mulus, hingga mereka mampu melahirkan generasi umat yang mumpuni, yang berhasil menjadi penjaga kemuliaan Islam dan kaum muslim dari masa ke masa.

Di pihak lain, anak-anak pun bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna dalam binaan penuh sang ibu yang cerdas dan terdidik dengan Islam. Keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya dijamin oleh sistem, baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan ini terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa.

Sebaliknya, para ibu bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan, hingga pengaruh buruk lingkungan yang merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya.

Semua pemenuhan itu telah dijamin oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan. Mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, sistem sanksi, dan lainnya. Mereka akan merasakan betapa indah hidup dengan Islam dan dalam sistem Islam. Oleh karenanya, mereka tidak boleh terpalingkan oleh ide-ide sekuler mana pun–termasuk ide kesetaraan gender–karena semua ide ini justru terbukti melahirkan kerusakan dan berbagai persoalan.

Sedangkan terkait dengan kebutuhan pokok berupa jasa, seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan, pemenuhannya mutlak sebagai tanggung jawab negara. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat dan seluruh biaya yang diperlukan ditanggung baitul mal.

Adapun mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan menerapkan sistem sanksi (uqûbat) yang tegas bagi para pelanggar. Jika ada suami yang tidak memenuhi nafkah anak dan istri ataupun melakukan tindak kekerasan kepada istri atau anaknya, ia akan diberi peringatan atau sanksi tegas. Semua fungsi negara ini telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan dilanjutkan oleh khulafaurasyidin serta para khalifah sesudahnya. Hingga pada masa itu, seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa merasakan kesejahteraan hidup yang tidak ada tandingannya.

Khatimah

Telah sangat jelas bahwa sakinah, kebahagiaan, dan kesejahteraan, hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam. Setiap suami istri harus berkomitmen melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya. Keluarga yang terikat syariat dalam menjalani biduk rumah tangganya akan menjadi keluarga muslim pembangun peradaban.

Semua itu akan terwujud hanya jika Khilafah tegak di muka bumi ini. Hanya Khilafah yang mampu menjamin terwujudnya ketahanan keluarga. Islam dengan hukum-hukum syariat yang diterapkan oleh Khilafah mampu memosisikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, pada posisi yang mulia dan terhormat. Wallahualam. [MNews/GZ]


source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

About Author

Comment here