Fikh

Program Cicilan Emas, Sesuaikah dengan Syariat?

Penulis: Arini Retnaningsih, S.P.

Muslimah News, FOKUS TSAQAFAH – Minat masyarakat terhadap kepemilikan emas terus meningkat. Harga emas yang makin tinggi mendorong berbagai lembaga keuangan seperti pegadaian dan perbankan syariah menawarkan emas batangan melalui Program Cicilan Emas. Lembaga keuangan tersebut menawarkan produk bersertifikat SNI, karatase 99,99%, serta kesesuaian syariah dari DSN MUI. (Republika, 24-9-2025).

Tawaran cicilan emas seperti ini memang menggiurkan. Namun sebagai seorang muslim, kita wajib senantiasa mengikuti hukum-hukum Allah dalam seluruh amal. Kaidah fikih menyatakan al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy, hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah. Kaidah ini mengharuskan seorang muslim untuk memahami terlebih dahulu hukum syarak suatu perbuatan sebelum mengerjakannya. Oleh karena itu, kita perlu memahami terlebih dahulu hukum jual beli emas secara cicilan sebelum kita memutuskan.

Fakta Program Cicilan Emas

Cicilan emas merupakan pembiayaan kepemilikan emas logam mulia dengan keunggulan dapat membeli emas logam mulia dengan harga saat akad, dapat dicicil, dan angsuran tetap. Menurut penyedia, akad yang digunakan dalam produk ini adalah murabahah, yaitu bank membeli emas yang dipesan, kemudian oleh bank emas tersebut dijual lagi kepada nasabah dengan margin tertentu dalam waktu yang disepakati, yakni 1–5 tahun dalam bentuk cicilan tetap per bulan. Uang muka yang harus dibayarkan adalah 20% dari pembiayaan dan dikenakan biaya administrasi 1%.[1] Akad seperti ini diperbolehkan oleh MUI dalam DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai.[2]

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengemukakan bahwa hukum transaksi jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, adalah boleh (mubah, jaiz) selama emas tidak menjadi alat tukar/mata uang yang resmi.

MUI beralasan, adanya pengharaman jual beli emas secara tidak tunai oleh para ulama mazhab dikarenakan pada masa itu emas bukan sekadar komoditas, melainkan juga berfungsi sebagai alat tukar/mata uang resmi. Hal itu tentu berbeda dengan masa sekarang ketika emas tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar/mata uang resmi. Dengan demikian, hukum yang mengharamkan kredit emas tidak berlaku lagi.

DSN-MUI juga banyak merujuk pada pendapat para ulama kontemporer, seperti Syekh ‘Ali Jumu’ah, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily, Dr. Khalid Mushlih, Syekh ‘Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy, dan ulama kontemporer lain yang mana semuanya berpendapat bahwa jual beli emas secara tidak tunai diperbolehkan karena melihat dari perkembangan zaman yang membuat emas itu tidak lagi menjadi alat tukar, melainkan sebagai barang yang dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjadi perhiasan berbentuk gelang, kalung, dan sebagainya.[3]

Namun, apabila kita mengkaji pendapat ulama lainnya, ternyata masalah ini termasuk persoalan khilafiah, yaitu persoalan yang masih diperdebatkan dan ada perbedaan pendapat. Dalam persoalan khilafiah, kita harus menelaah dalil-dalilnya dan mengambil hujah yang terkuat.

Pendapat yang Mengharamkan Cicilan Emas

Para ulama mazhab, yaitu Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bersepakat bahwa jual beli emas secara kredit adalah haram. Ini karena jual beli emas secara kredit tidak memenuhi syarat-syarat jual beli emas sebagai barang ribawi yang mana harus ada pembayaran secara tunai atau kontan. Adanya kesepakatan ini telah diriwayatkan antara lain oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bârî, Juz III, hlm. 380), dan Imam Nawawi (Syarah An-Nawawî ‘alâ Shahîh Muslim, Juz XI, hlm. 10).

Pendapat jumhur ini pula yang dinilai râjih (lebih kuat) oleh Syekh ‘Athâ’ Abû Rasytah hafizhahullâh, yang menegaskan, “Membeli emas dengan uang secara utang tidak boleh secara mutlak, baik uang itu uang emas maupun uang kertas (al-awrâq al-naqdiyyah, fiat money), sama saja apakah utang itu seluruhnya adalah utang dengan pembayaran tertunda, ataukah utang yang dibayar secara angsuran, yaitu dibayar sebagian lebih dulu di muka lalu sisanya dibayar secara angsuran.”[4]

Dalil keharamannya antara lain sabda Rasulullah ﷺ, “Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bi al-burri), jawawut dengan jawawut (asy-sya’îr bi al-sya’îr), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawâ`an bi sawâ`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim, no. 1587).

Syekh ‘Atha Abu Rasytah menjelaskan hadis tersebut dengan berkata, “Nas tersebut jelas bahwa ketika yang dipertukarkan dari benda-benda ribawi itu berbeda jenisnya, maka jual beli itu laksanakan sesuka kamu, yaitu tidak disyaratkan sama takarannya/sama beratnya, tetapi disyaratkan kontan (taqâbudh).”[5]

Jadi, boleh hukumnya menukar dua benda ribawi yang berbeda jenisnya, seperti gandum dengan emas, atau jawawut dengan perak, atau emas dengan kurma, asalkan dilakukan dengan kontan (taqâbudh).

Uang kertas saat ini (fiat money) dihukumi sama dengan emas dan perak karena terdapat kesamaan ilat pada keduanya sebagai mata uang dan ukuran jasa. Alhasil, membeli emas dengan uang kertas saat ini sama hukumnya dengan membeli emas dengan uang emas, atau membeli emas dengan uang perak, yang pada dua kondisi ini wajib dilakukan dengan kontan (taqâbudh).[6]

Dengan demikian, memperjualbelikan emas secara kredit atau angsuran berarti telah melanggar persyaratan harus terjadi secara kontan (taqâbudh), yakni serah terima di majelis akad. Dengan demikian, memperjualbelikan emas secara kredit atau angsuran, hukumnya secara syar’i adalah haram karena terjadi riba dalam akad ini, yakni riba fadhl.

Demikianlah pendapat lain yang mengharamkan. Lantas, mana yang hujahnya lebih kuat dalam persoalan ini?

Tarjih Hukum Jual Beli Emas secara Kredit

Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara kredit berhujah bahwa emas saat ini bukan lagi berfungsi sebagai alat tukar, melainkan komoditas, yakni sebagai barang yang dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjadi perhiasan berbentuk gelang, kalung, dan sebagainya. (DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010).

Kesimpulan ini diambil dari hadis Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَداً بِيَدٍ, فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ»

“(Pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut dengan jawawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal, sama, dan kontan. Jika berbeda jenisnya maka juallah sesuka kalian jika kontan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Menurut ulama yang membolehkan cicilan emas, ilat emas dalam hadis Ubadah tersebut adalah keberadaannya sebagai alat tukar atau alat pembayaran (atsman li al-asy-ya‘). Saat ini, emas bukan lagi menjadi alat tukar sehingga secara fakta emas dihukumi sebagai komoditas. Dengan demikian, pertukaran antara mata uang dan emas, sebagaimana dijalankan pada produk cicilan emas di bank-bank syariah kini, tidak diharuskan secara tunai, tetapi boleh tidak tunai. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya ilat.

Ilat adalah sesuatu yang memunculkan hukum. Apabila ilat tidak ada, hukumnya pun tidak ada. Apabila ilat larangan emas dijual tidak tunai adalah posisinya sebagai alat tukar, maka saat ini ketika emas tidak lagi menjadi alat tukar, larangan emas dijual tidak tunai menjadi hilang. Artinya, kredit emas menjadi boleh.

Pendapat ini sebenarnya memiliki kelemahan dari sisi penarikan ilat. Dalam Kitab Nizhamul Iqtishadi fi al-Islam bab “Riba wa ash-Sharf”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa dalam hadis Ubadah bin Shamit di atas, ilat keharaman benda-benda yang disebutkan tidak dinyatakan di dalam nas tersebut.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, yang dikatakan sebagai ilat adalah ilat syar’iyyah, yaitu ilat yang diambil dari nas syar’i, bukan ilat aqliyyah yang dirumuskan oleh akal. Jika tidak bisa dipahami dari nas, ilat tersebut tidak diakui. Kias atau analogi terhadap ilat semacam ini tidak bisa dilakukan di sini. Untuk mengiaskan ilat, disyaratkan bahwa sesuatu yang dianggap sebagai ilat harus berupa “sifat mufhim”, yaitu suatu sifat yang bisa dipahami bahwa sifat itu bisa diterapkan untuk hal lain.

Apabila ada sifat mufhim ini, hal-hal lain yang sesuai sifat mufhim ini layak dikiaskan pada sifat tersebut. Jika sesuatu yang dianggap sebagai ilat tidak merupakan sifat mufhim, misalnya berupa isim jamid (isim yang menunjuk sesuatu yang tertentu, seperti nama atau jenis yang khusus, misalnya emas, perak, gandum, dan sebagainya), tetapi bukan sifat mufhim, maka ia tidak layak dijadikan ilat. Dengan demikian, hal-hal lain tidak bisa dikiaskan pada sifat tersebut.

Kata “emas” (adz-dzahab) dalam hadis di atas, adalah isim jamid, yakni nama benda tertentu sehingga tidak memiliki sifat mufhim yang bisa dijadikan ilat untuk pengiasan. Alhasil, emas harus dipahami sebagai emas secara umum, bukan emas sebagai alat tukar.

Emas adalah kata (lafaz) umum sehingga mencakup emas dalam segala bentuknya, termasuk emas sebagai komoditas (seperti perhiasan emas atau emas lantakan), ataupun emas sebagai alat tukar (koin dinar emas).

Imam Syaukani mensyarah hadis di atas dengan mengatakan, “Sabda Nabi ﷺ yang berbunyi, ‘Emas dengan emas (adz-dzahab bi adz-dzahab),’ termasuk ke dalam kata emas ini, adalah segala bentuk emas, yaitu emas lantakan maupun yang dicetak, emas yang baik, emas yang buruk, yang tidak ada cacatnya maupun yang ada, emas perhiasan, yang murni, dan emas campuran (emas yang dicampur dengan logam lain).”[7]

Selanjutnya adalah karena bertentangan dengan nas hadis sahih yang justru menjelaskan bahwa dalam jual beli perhiasan emas tetap berlaku persyaratan umum dalam jual beli emas, yaitu wajib sama beratnya (waznan bi waznin atau mistlan bi mitslin). Ini menunjukkan bahwa perhiasan emas sama hukumnya dengan dinar emas. Dengan kata lain, emas sebagai komoditas dan emas sebagai alat tukar, sama hukumnya, bukan berbeda hukum.

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar bab “Menjual Emas dan Lainnya dengan Emas” menjelaskan bahwa hukum emas sebagai alat tukar dan komoditas tidaklah berbeda. Beliau dalam bab ini mencantumkan dua hadis yang sama pengertiannya, di antaranya sebagai berikut.

عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبَاحٍ اللَّخْمِيِّ يَقُولُ سَمِعْتُ فَضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِخَيْبَرَ بِقِلَادَةٍ فِيهَا خَرْزٌ وَذَهَبٌ ، وَهِيَ مِنْ الْمَغَانِمِ تُبَاعُ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالذَّهَبِ الَّذِي فِي الْقِلَادَةِ فَنُزِعَ وَحْدَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ. رواه مسلم

Dari Ali bin Rabbāh al-Lakhmī, ia berkata, “Aku mendengar Fadhālah bin ‘Ubaid Al-Anshāri, ia berkata, ‘Telah didatangkan kepada Rasulullah ﷺ sedangkan beliau tengah berada di Khaibar, sebuah kalung yang mempunyai manik-manik dan emas, yang merupakan ganimah (harta rampasan perang) yang dijualbelikan. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan mencabut emas yang terdapat pada kalung itu, lalu kami mencabut emas itu (dari kalungnya). Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka, ‘Emas ditukar dengan emas, harus sama beratnya.’” (HR Muslim, no. 3079).

Dalam hadis di atas, yang diperjualkan oleh para sahabat adalah emas perhiasan, bukan emas sebagai alat tukar (koin dinar), yaitu emas yang terdapat dalam sebuah kalung. Dalam hadis tersebut terdapat hukum syarak,

أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ ذَهَبٍ مَعَ غَيْرِهِ، بِذَهَبٍ، حَتَّى يُفْصَلَ، فَيُبَاعُ الذَّهَبُ بِوَزْنِهِ ذَهَبًا، وَيُبَاعُ الْآخَرُ بِمَا أَرَادَ. شرح الحديث من فـــتح المــــنعم ج 6 ص 327

“Bahwa tidak boleh menjual emas—yang menyatu dengan selain emas (misalkan emas dalam rantai kalung yang bukan emas) —dengan emas, hingga emasnya dipisahkan, lalu emasnya dijual dengan emas lain yang sama beratnya, dan benda lainnya tadi (yang selain emas) dijual dengan harga yang dikehendaki (pemiliknya).” (Dr. Mūsā Syāhīn Lāsyīn, Fathul Mun’im Syarah Shahīh Muslim, Juz VI, hlm. 327).

Dengan demikian, jelaslah, berdasarkan hadis ini, emas perhiasan itu hukumnya sama dengan emas sebagai alat tukar, yakni yang ketika dipertukarkan (dijualbelikan), wajib harus sama beratnya (waznan bi waznin). Dengan kata lain, tidak dapat diterima adanya pembedaan hukum antara emas sebagai komoditas dan emas sebagai alat tukar (uang).

Kesimpulannya, pendapat sebagian ulama yang membolehkan jual beli emas secara cicilan (tidak tunai) dengan alasan bahwa emas sebagai komoditas itu beda hukumnya dengan emas sebagai alat tukar, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nas hadis di atas. Yang benar dan rājih (lebih kuat) adalah sebaliknya—yang merupakan pendapat jumhur ulama—bahwasanya jual beli emas dalam segala bentuknya, termasuk emas sebagai komoditas dan emas sebagai alat tukar, tidak diperbolehkan secara syariat, kecuali secara tunai (yadan bi yadin). Wallahualam bissawab. [MNews/GZ]


[1] https://www.bankbsi.co.id/produk&layanan/produk/bsi-cicil-emas

[2] https://www.shariaknowledgecentre.id/id/.galleries/pdf/fatwa/pegadaian/77-jual-beli-emas-secara-tidak-tunai.pdf

[3] https://www.shariaknowledgecentre.id/id/.galleries/pdf/fatwa/pegadaian/77-jual-beli-emas-secara-tidak-tunai.pdf

[4] ‘Athâ’ Abû Rasytah, Jawâb Su’âl Haulâ Al-Ashnâf Al-Ribâwiyyah Al-Sittah, 21 Muharam 1437/3 November 2015

[5] ibid

[6] ibid

[7] Imam Syaukani, terjemahan Nailul Authār, Jilid 4, hlm. 1730–1731


source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

About Author

Comment here