Fikh

[Fikih] Hukum Seputar Kurban

Penulis: K.H. M. Shiddiq al-Jawi

Muslimah News, FIKIH — Kata “kurban” atau “korban” berasal dari bahasa Arab “qurban”, diambil dari kata qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbânan (mashdar), artinya ‘mendekati atau menghampiri’. (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, “kurban” adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya. (Ibrahim Anis et.al, 1972).

Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari kata “dhuhâ”, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07:00—10:00. (Ash-Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada Hari Raya Kurban dan hari-hari tasyrik sebagai takarub (pendekatan diri) kepada Allah. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

Hukum Kurban

Kurban hukumnya sunah, tidak wajib. Imam Malik, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, dan lainnya berkata, “Kurban itu hukumnya sunah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (mukim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984).

Sebagian mujtahid, seperti Abu Hanifah, Al-Laits, Al-Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik mengatakan kurban hukumnya wajib, tetapi pendapat ini daif (lemah). (Matdawam, 1984).

Ukuran “mampu” berkurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan sedekah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah), yaitu sandang, pangan, dan papan dan kebutuhan penyempurna (al-hajat al-kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, ia terbebas dari menjalankan sunah kurban. (Al-Abari, 1994).

Dasar kesunahan kurban antara lain firman Allah Swt., “Maka dirikan (kerjakan) salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS Al-Kautsar: 2).

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban, sedangkan kurban itu bagi kamu adalah sunah.” (HR At-Tirmidzi).

“Telah diwajibkan atasku (Nabi saw.) kurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR Ad-Daruquthni).

Dua hadis di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa kurban adalah sunah. Firman Allah Swt. yang berbunyi “wanhar” (dan berkurbanlah kamu) dalam Surah Al-Kautsar ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan kurban (thalabul fi’li). Sedangkan hadis At-Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum (aku diperintahkan untuk menyembelih kurban, sedangkan kurban itu bagi kamu adalah sunah),” juga hadis Ad-Daruquthni, “Kutiba ‘alayya an-nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum (telah diwajibkan atasku kurban dan ia tidak wajib atas kalian),” merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, kurban itu sunah, tidak wajib. Namun benar, kurban adalah wajib atas Nabi saw. dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hlm. 422).

Orang yang mampu berkurban, tetapi tidak berkurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi saw., “Barang siapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat salat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah ra.. Menurut Imam Al-Hakim, hadis ini sahih. Lihat Subulus Salam IV/91).

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat salat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang yang tidak berkurban—padahal mampu—untuk mendekati tempat salat Iduladha. Namun, ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan setan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliah), dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan Salat Iduladha tidaklah berdosa sebab hukumnya sunah, tidak wajib. Dengan demikian, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram. (lihat ‘Atha’ ibn Khalil, Taysir Al-Wushul Ila al-Ushul, hlm. 24; Al Jabari, 1994).

Namun, hukum kurban dapat menjadi wajib jika menjadi nazar seseorang sebab memenuhi nazar adalah wajib sesuai hadis Nabi saw., “Barang siapa yang bernazar untuk ketaatan kepada Allah maka hendaklah ia melaksanakannya. Barang siapa yang bernazar untuk kemaksiatan kepada Allah maka janganlah ia melaksanakannya.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi).

Kurban juga menjadi wajib jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, “Ini milik Allah,” atau “Ini binatang kurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al-Jabari, 1994).

Keutamaan Kurban

Berkurban merupakan amal yang paling dicintai Allah Swt. pada saat Iduladha. Sabda Nabi saw., “Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya kurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih kurban.” (HR At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990).

Berdasarkan hadis itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, ”Menyembelih hewan pada hari raya kurban, akikah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada sedekah yang nilainya sama.” (Al-Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan kurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berkurban. Sabda Nabi saw., “Hai Fatimah, bangunlah dan saksikanlah kurbanmu karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.” (HR Al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah XIII/165).

Waktu dan Tempat Kurban

a. Waktu

Kurban dilaksanakan setelah Salat Iduladha tanggal 10 Zulhijah hingga akhir hari tasyrik (sebelum magrib), yaitu tanggal 13 Zulhijah. Kurban tidak sah bila disembelih sebelum salat Iduladha. Sabda Nabi saw., “Barang siapa menyembelih kurban sebelum salat Iduladha (10 Zulhijah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa menyembelih kurban sesudah salat Iduladha dan dua khotbahnya maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berkurban) dan telah sesuai dengan sunah (ketentuan) Islam.”(HR Bukhari).

Sabda Nabi saw., “Semua hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah) adalah waktu untuk menyembelih kurban.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Menyembelih kurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijah adalah berdasarkan rukyat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadis Nabi saw. dari sahabat Husain bin Harits al-Jadali ra. (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadis no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya adalah waktu para jemaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijah) maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijah bagi kaum muslim di seluruh dunia.

b. Tempat

Diutamakan tempat penyembelihan kurban adalah di dekat tempat salat Iduladha yang kita salat (misalnya lapangan atau masjid) sebab Rasulullah saw. berbuat demikian (HR. Bukhari). Akan tetapi, itu tidak wajib karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar ra. menyembelih kurban di manhar, yaitu penjagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Kurban

a. Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan tidak boleh dijadikan kurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).

Allah Swt. berfirman, “… supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al-Hajj: 34).

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al-Jabari, 1994). Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al-Fiqh al-Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus) sebab disamakan dengan sapi.

b. Jenis Kelamin

Dalam berkurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadis-hadis Nabi saw. yang bersifat umum mencakup kebolehan berkurban dengan jenis jantan dan betina dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990).

c. Umur

Sesuai hadis-hadis Nabi saw., dianggap mencukupi berkurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

d. Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, kurban adalah takarub kepada Allah maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978).

Berdasarkan hadis-hadis Nabi saw., tidak dibenarkan berkurban dengan hewan yang nyata-nyata buta sebelah, yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit), yang nyata-nyata pincang jalannya, yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus, yang tidak ada sebagian tanduknya, yang tidak ada sebagian kupingnya, yang terpotong hidungnya, yang pendek ekornya (karena terpotong/putus), yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan kurban sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al-maujuu’ain) (lihat HR Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990).

Kurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tidak ada kurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi boleh patungan untuk tujuh orang (HR Muslim). Lebih utama, satu orang berkurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah atau para anggota sebuah jemaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berkurban? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan kurban, tetapi hanya latihan kurban. Sembelihannya sah jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, tetapi tidak mendapat pahala kurban. Wallahualam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berkurban, lalu dari merekalah hewan kurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berkurban.

Perlu ditambahkan bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri.

Hadis Nabi saw., “Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih kurban.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut:

– Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa, “Rabbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah kiranya kurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

– Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

– Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca, “Bismillahi Allahu Akbar.” (Artinya: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan selawat atas Nabi saw.. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir, “Allahu Akbar!”)

– Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya kurban diterima Allah) yaitu: “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya: Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990).

– Penyembelihan yang afdal dilakukan oleh yang berkurban itu sendiri, sekalipun dia seorang perempuan. Namun, boleh diwakilkan kepada orang lain dan sunah yang berkurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al-Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu:

– Adz-dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tetapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tetapi dagingnya halal. Jadi sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al-Jabari, 1994).

– Adz-dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

– Al-alah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR Bukhari dan Muslim).

Adz-Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936).

Pemanfaatan Daging Kurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan kurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al-Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih, tetapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stres. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedangkan hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan kurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan kurban tersebut? Ketentuannya, disunahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan daging kurban, menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi saw. bersabda, “Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah.”(HR Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadis sahih).

Berdasarkan hadis itu, pemanfaatan daging kurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Pembagian ini sifatnya tidak wajib, tetapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Orang yang berkurban disunahkan turut memakan daging kurbannya sesuai hadis di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir miskin, menurut Imam Al-Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al-Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).

Akan tetapi, jika daging kurban sebagai nazar, wajib diberikan semua kepada fakir miskin dan yang berkurban diharamkan memakannya atau menjualnya (Ad-Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984).

Pembagian daging kurban kepada fakir dan miskin boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat lokasi penyembelihan (Al-Jabari, 1994).

Bolehkah memberikan daging kurban kepada nonmuslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hanbali) dan yang lainnya (Al-Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun, menurut Imam Malik dan Al-Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al-Jabari, 1994).

Penyembelih (jagal) tidak boleh diberi upah dari kurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berkurban dan bukan dari kurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadis Nabi saw. dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra., “…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu darinya (hewan kurban).” (HR Bukhari dan Muslim) (Al-Jabari, 1994).

Jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging kurban. Namun, pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi saw., “Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (kurban orang haji) dan daging kurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya.…” (HR Ahmad) (Matdawam, 1984).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al-Hasan, dan Al-Auza’i membolehkannya. Namun, pendapat yang lebih kuat dan berhati-hati (ihtiyath) adalah janganlah orang yang berkurban menjual kulit hewan kurban. Imam Ahmad bin Hanbal sampai berkata, “Subhanallah! Bagaimana harus menjual kulit hewan kurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah?” (Al-Jabari, 1994).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab—menurut pemahaman kami—larangan menjual kulit hewan kurban tertuju kepada orang yang berkurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berkurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi islami, dan sebagainya.

Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini dengan sebuah amanah penting, hendaklah orang yang berkurban melaksanakan kurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala yang lahir dari ketakwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berkurban karena riya’ agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah Swt. adalah takwa kita, bukan daging dan darah kurban kita.

Allah Swt. berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang mencapainya.”(TQS Al-Hajj : 37). [MNews/Rgl].

Daftar Pustaka

Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung: Sinar Baru. 52 hlm.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rahmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya: Al-Ikhlas. 554 hlm.

Al-Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha at-Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hlm.

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Tanpa Penerbit. 547 hlm.

Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan.

Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir al-Wushul Ila al-Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut: Darul Ummah. 310 hlm.

Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hlm.

Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bina Karier. 41 hlm.

Rasjid, H. Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung: Sinar Baru. 468 hlm.

Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra. 468 hlm.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung : Al Ma’arif. 229 hlm.

Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hlm.


source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

About Author

Comment here