Penulis: Ustazah Rahmah
Muslimah News, FOKUS — Pemerintah secara resmi melarang sunat perempuan. Pelarangan sunat perempuan secara eksplisit terdapat dalam PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023 tentang Kesehatan yang menetapkan dalam Pasal 102 a tentang Penghapusan Praktik Sunat Perempuan.[1]
Dengan resminya penghapusan praktik sunat perempuan ini, Ketua Majelis Musyawarah (MM) Keagamaan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) Nyai Badriyah Fayumi mengungkapkan kebahagiaannya bahwa upayanya selama ini telah menuai hasil. Perlu diketahui, pada perhelatan KUPI II, seluruh ulama perempuan bersepakat melalui fatwa KUPI II bahwa hukum melakukan tindakan pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang membahayakan tanpa alasan medis adalah haram.[2]
Mengikuti Seruan Pegiat Kesetaraan Gender
Apabila kita telusuri, pelarangan sunat perempuan ini muncul karena mengikuti seruan pegiat kesetaraan gender yang merujuk hasil Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) yang diadakan di Kairo, Mesir, pada 1994. WHO telah melarang praktik sunat perempuan dan dianggap melanggar HAM dengan alasan merusak dan membahayakan organ reproduksi perempuan. WHO dengan tegas mengeluarkan pedoman baru yang mengatakan bahwa mutilasi alat kelamin perempuan merupakan pelanggaran HAM. (IDN Times).
Menurut WHO, terdapat beberapa metode yang digunakan dalam sunat perempuan. Pertama, clitoridectomy, yakni pemotongan sebagian atau seluruh klitoris, atau selaput di atasnya). Kedua, excision, yakni pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora. Ketiga, infibulation, yakni mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup, dengan memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora, sedangkan klitoris tidak disentuh sama sekali. Juga tindakan lain yang melukai vagina tanpa tujuan medis. (IDN Times).
WHO pun menyamakan sunat perempuan dengan female genital cutting (FGC) atau female genital mutilation (FGM), yaitu seluruh prosedur yang menghilangkan secara total atau sebagian dari organ genitalia eksternal, atau melukai pada organ kelamin wanita karena alasan nonmedis, adalah termasuk pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP).
Demikianlah sejarah singkat pelarangan atau penghapusan sunat perempuan di Indonesia. Lantas, bagaimana sikap penduduk negeri ini yang mayoritas beragama Islam? Sebagai kaum muslim, tentu setiap amal perbuatan wajib terikat syariat Islam.
Apakah pelarangan sunat perempuan tadi berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadis? Ataukah berdasarkan akal semata? Berbahayakah sunat perempuan yang dilakukan sesuai ajaran Islam? Ataukah justru membawa maslahat?
Untuk mendapatkan jawabannya, akan dijelaskan secara syar’i atau penetapan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dengan terperinci, jelas, dan mendalam.
Praktik Sunat Perempuan yang Salah
WHO melarang FGM/P2GP atau sunat perempuan karena praktik sunat yang salah yang terjadi di Afrika, yaitu memotong hampir seluruh, bahkan seluruh alat kelamin perempuan, yang pada akhirnya berakibat buruk bagi kesehatan perempuan sehingga mereka tidak bisa merasakan nikmatnya berhubungan suami istri, bahkan merasa kesakitan.
FGM yang merupakan tradisi penyunatan di Afrika ini memang sangat ekstrem, yakni dengan menggunakan silet, pecahan kaca, atau gunting. Padahal, penyunatan mencakup pemotongan alat kelamin perempuan. Organ klitoris dan alat kelamin luar dipotong, kemudian dijahit.
Lembaga PBB yang mengurusi anak-anak (UNICEF) mengatakan bahwa lebih dari 125 juta perempuan di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah menjalani “tradisi sunat”. Akibat tradisi ini, timbul sakit yang luar biasa, pendarahan, perasaan terguncang, dan dapat menyebabkan komplikasi saat melahirkan. (CNN Indonesia).
Itulah latar belakang pelarangan FGM/P2GP. Negara-negara anggota PBB mengikuti pelarangan tersebut, yaitu praktik sunat perempuan dengan memotong sebagian besar, hampir seluruh atau seluruh alat kelamin, bahkan setelah pemotongan ada yang dijahit.
Sesungguhnya, praktik seperti itu bukanlah berasal dari Islam. Dalam Islam, cara menyunat perempuan menurut Imam Al-Mawardi adalah memotong sebagian kecil kulit yang menutupi klitoris atau bagian atas farjinya. Kulit bagian atas yang harus dipotong tanpa mencabutnya/tanpa menghilangkan klitorisnya.
Rasulullah saw. memerintahkan kepada tukang sunat perempuan, Ummu ‘Athiyah ra. sebagai berikut, “Jangan berlebihan dalam menyunat karena akan lebih nikmat (ketika berjimak) dan lebih disukai suami.” (HR Abu Dawud).
Jelaslah bahwa praktik sunat perempuan sebagaimana yang WHO larang—FGM/P2GP—bukan berasal dari ajaran Islam, bahkan Rasulullah saw. melarangnya. Tidak tepat jika menyamakan FGM dengan sunat perempuan yang disyariatkan Islam. Juga tidak ada alasan untuk menggeneralisasi kasus ini sehingga melarang sunat perempuan secara keseluruhan.
Patut dipahami pula bahwa semua yang berasal dari ajaran Islam tentu akan membawa kebaikan (bermaslahat) bagi pelakunya, termasuk pelaksanaan sunat perempuan. Firman Allah Swt. dalam QS Al-Anbiya’: 107, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Hukum Sunat Perempuan dalam Pandangan Islam
Ulama bersepakat bahwa sunat wajib bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan, terdapat perbedaan sebagai berikut. Pertama, sebagian ulama Mazhab Maliki, Imam Syafii, dan Imam Ahmad, mewajibkan sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalilnya antara lain QS An-Nahl ayat 123, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”
Sabda Rasulullah saw., “Apabila bertemu dua sunat, maka wajib mandi.” (Hadis sahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Hadis No. 24709; HR Muslim, Hadis 88/ 349; dalam kitab Al-Muwatha’, Imam Malik, hlm. 38).
Dalam sabda lain, “Buanglah rambut kekafiranmu dan bersunatlah.” (HR Ahmad dalam kitab Muhtashar Nailul Authar/I/98).
Kedua, bersunat wajib bagi pria dan sunah bagi wanita. Ini pendapat sebagian penganut dan pendukung ulama Mazhab Syafii. Mereka berargumentasi bahwa tidak ada dalil yang terdapat tuntutan tegas atau pasti. Dalil yang ada adalah tuntutan tidak pasti/tidak tegas. Dengan demikian, sunat perempuan dipandang sunah, tidak wajib.
Ulama yang berpendapat sunat perempuan hukumnya sunah juga berargumentasi bahwa Ibnu Taimiyah ra. menjelaskan tujuan sunat laki-laki adalah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala penis, dan suci dari najis adalah syarat untuk melakukan ibadah salat. Sedangkan tujuan sunat perempuan adalah untuk menstabilkan syahwatnya karena apabila wanita tidak disunat, syahwatnya sangat besar (lihat Majmu’ Fatawa 21/114).
Demikian pula menurut Fatwa MUI, Kiai Cholil mengatakan bahwa penghapusan praktik sunat perempuan bertentangan dengan syariat Islam. “PP 28/2024 tentang Kesehatan pada Pasal 102 a yang menghapus praktik sunat perempuan, bertentangan dengan syariat,” ujarnya. Menurutnya, Islam justru menganjurkan agar kaum perempuan itu melakukan sunat.
Walhasil, ia menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melarang praktik ini. “Islam menganjurkan (makramah) sunat perempuan. Karenanya bertentangan kalau PP 28 itu melarang sunat perempuan. Sunat perempuan tidak wajib, tetapi tidak boleh dilarang,” jelasnya.[3]
Dari dua pendapat di atas, yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa sunat bagi perempuan hukumnya sunah karena beberapa hal. Di antaranya, dalilnya mengandung tuntutan, tetapi tidak bersifat jazm (tegas). Artinya, sunat perempuan hukumnya sunah, tidak wajib.
Hadis sahih,
الق عنك شعر الكفر واختتن
“Buanglah rambut kekafiranmu dan bersunatlah”. Dhamir ك (ka) pada “عنك” menunjukkan kata ganti laki-laki. Jadi, yang diseru untuk bersunat dalam hadis ini adalah laki-laki.
Ibnu Taimiyah ra. menjelaskan tujuan sunat laki-laki adalah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala penis, dan suci dari najis itu syarat untuk melakukan ibadah salat. Sedangkan tujuan sunat perempuan adalah untuk menstabilkan syahwatnya, bukan untuk melakukan ibadah wajib, yaitu salat sebagaimana laki-laki.
Sunat Tidak Berbahaya, Justru Bermaslahat bagi Perempuan
Terlepas dari perbedaan ulama tentang hukum sunat bagi perempuan, ada hal yang perlu kita garis bawahi, yakni bahwa sunat perempuan itu ajaran Islam, ajaran Allah dan Rasul-Nya. Setiap ajaran Islam tentu pasti bermaslahat bagi umatnya. Dengan demikian, pelaksanaan sunat perempuan akan membawa kemaslahatan bagi semuanya, kapan pun, di mana pun, serta dalam situasi dan kondisi apa pun.
Firman Allah QS Al-Anbiya’ ayat 107, “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dalam kitab Syakhshiyyah Islamiyyah Juz III, Syekh Taqiyuddin menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut, “Maka adanya Rasul adalah rahmat. Adanya Al-Qur’an adalah obat (solusi) dan rahmat. Semua itu menunjukkan bahwa sesungguhnya syariat mendatangkan rahmat (maslahat), yaitu hasil yang diperoleh atas pelaksanaan syariat.”
Adapun berkaitan dengan sunat perempuan membawa maslahat bagi perempuan, Prof. Huzaimah dalam buku Fikih Anak menyebutkan bahwa sunat yang benar sesuai ajaran Islam akan menjadikan syahwat wanita stabil, tidak berlebihan, dan akan menyenangkan suami. Sebaliknya, jika disunat secara berlebihan, akan menjadikan perempuan lemah syahwat.
Dengan demikian, sunat perempuan justru menjadikan syahwatnya stabil, menyenangkan suami, dan suami istri bisa lebih merasakan nikmat saat berjimak. Rasulullah saw. bersabda, “Jangan berlebihan dalam menyunat karena akan lebih nikmat (ketika berjimak) dan lebih disukai suami.” (HR Abu Dawud).
Manfaat sunat perempuan menurut pakar kesehatan adalah mencegah penumpukan smegma atau kotoran berwarna putih di klitoris. “Dengan disunat, manfaatnya untuk membersihkan,” ujar dr. Valleria, Sp.OG. dalam diskusi media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.[4]
Penjelasan senada disampaikan Dr. Hamid al-Gowabi, “Berkumpulnya cairan kecil di kemaluan perempuan sehingga berubah warna keruh yang menimbulkan bau tidak sedap, menyebabkan luka di vagina. Saya telah melihat kondisi penyakit yang banyak disebabkan karena tidak bersunat ketika terkena penyakit.[5]
Penggunaan yang Benar tentang Kaidah Dharar (Bahaya)
Ada yang berpendapat bahwa sunat itu hukumnya menjadi haram jika dikhawatirkan membahayakan. Hal ini sesuai kaidah, “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار (Tidak boleh membuat bahaya dan membahayakan).”
Beberapa ulama membahas kaidah dharar. Misalnya, Imam Al-Ghazali yang membahasnya dalam kitab Al-Mustashfâ fî’ ‘Ilm al-Ushûl, dan Muhammad al-Amidiy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Menurut ulama usul, keadaan dikatakan dharûrah (darurat) jika memenuhi dua hal. Pertama, ketika sesuatu yang dilarang itu tidak diperoleh, maka akan celaka atau binasa, atau nyaris binasa atau celaka. Kedua, keadaan yang sangat memaksa dan dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan atau kematian.
Dengan mengkaji dugaan yang menyatakan bahwa jika perempuan disunat akan terjadi bahaya besar, ini adalah dugaan yang salah. Ini karena jika menyunat perempuan sesuai ajaran Islam, yakni sebagaimana cara yang Rasulullah saw. sabdakan, yaitu sederhana dalam menyunat perempuan, maka tidak akan membahayakan bagi perempuan. Sebaliknya, justru membawa maslahat bagi perempuan.
Dengan demikian, syarat keadaan darurat/bahaya yang dimaksud ulama usul fikih, tidak terpenuhi. Alhasil, tidak tepat penggunaan kaidah “tidak boleh membuat bahaya dan membahayakan” untuk mengharamkan sunat bagi perempuan. Sunat bagi perempuan pun tetap kepada hukum asalnya, yaitu sunah.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa FGM adalah praktik sunat perempuan yang salah, yaitu memotong sebagian besar atau bahkan sampai seluruh klitorisnya. Ini juga membahayakan kesehatan perempuan dan menyebabkan kesulitan dalam menikmati berjimak, bahkan sampai membencinya.
Praktik salah ini bukan berasal dari ajaran Islam karena cara sunat perempuan yang sesuai ajaran Islam hanya menyunat kulit yang menutupi klitoris secara tidak berlebihan, sebagaimana sabda Rasulullah. Sunat perempuan sesuai ajaran Islam ini tidak membahayakan kesehatan, bahkan membawa maslahat bagi perempuan. Jelas tidak tepat menyamakan FGM dengan praktik sunat perempuan sesuai ajaran Islam. Wallahualam. [MNews/GZ]
[1] https://khazanah.republika.co.id/berita/shgsfs483 /pemerintah-resmi-hapus-sunat-perempuan
[2] https://mubadalah.id/pemerintah-resmi-hapus-praktik-sunat-perempuan-mm-kupi-alhamdulillah-hari-bersejarah-bagi-kupi/
[3] https://khazanah.republika.co.id/berita/shiq82483/suara-keras-mui-soal-penghapusan-sunat-perempuan-tidak-wajib-tapi-tak-boleh-dilarang
[4] https://cantik.tempo.co/read/1083326/pakar-jelaskan-manfaat-kesehatan-sunat-perempuan
[5] https://islamqa.info/id/answers/45528/manfaat-medis-sunat-bagi-wanita
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.
Comment here