Konsultasi

WANITA MUSLIMAH TIDAK MAU DIJODOHKAN OLEH AYAHNYA, BAGAIMANAKAH HUKUMNYA?

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, ada anak gadis yang mau dijodohkan sama bapaknya. Tapi si anak gadis ini tidak mau dengan si laki-laki pilihan bapaknya. Mohon penjelasan hukumnya dalam masalah ini menurut syariah Islam. (Nurul, Kaltim).

 

Jawab :

Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, yakni bolehkah seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa (bāligh) tanpa seizin anak gadisnya. Ada dua pendapat ulama;

Pertama, pendapat yang membolehkan seorang ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa (bāligh) meski tanpa seizin anak gadisnya. Ini pendapat ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. (Imam Mālik, Al-Mudawwanah Al-Kubrā, 2/100; Imam Syāfi’ī, Al-Umm, 5/19; Imam Ibnu Qudāmah, Al-Mughnī, 9/399).

Dalilnya sabda Nabi SAW :

الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya¸ sedangkan seorang gadis dimintai izinnya, dan izinnya adalah dengan diamnya.” (HR. Muslim, no. 1421).

 

Wajhul istidlāl (segi penarikan hukum) dari hadits ini, ketika Nabi SAW bersabda seorang perempuan janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Maka mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadits ini, berarti untuk perempuan gadis, yang lebih berhak atas dirinya adalah ayahnya, bukan perempuan gadis itu. Adapun isti`mār (permintaan izin oleh wali kepada anak gadisnya untuk menikahkan) hanya dipahami sebagai kesunnahan, bukan kewajiban. (Imam Ibnu Qudāmah, Al-Mughnī, 9/399-400).

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan seorang ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa (bāligh), kecuali dengan seizin anak gadisnya itu. Ini pendapat ulama Hanafiyah. (Imam Al-Sarakhsī, Al-Mabsūth, 5/2; Imam Al-Kāsānī, Badā`i’ Al-Shanā`i’ fī Tartīb Al-Syarā`i’, 2/241).

Dalilnya antara lain hadits dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda :

وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوْهَا

”…sedangkan seorang gadis dimintai izinnya (untuk menikah) oleh ayahnya.” (wa al-bikru yasta`dzinuhā abūhā). (HR. Muslim, no. 1421).

Dalil lainnya, hadits dari Ibnu ‘Abbas  RA sbb :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم

Dari Ibnu ‘Abbas RA bahwa ada seorang perempuan gadis datang kepada Nabi SAW. Lalu perempuan itu menyebutkan bahwa ayahnya telah menikahkan dia (dengan seorang laki-laki) sedang perempuan itu membenci (laki-laki itu). Maka Nabi SAW lalu memberikan pilihan kepada perempuan itu. (HR. Abu Dawud, no. 2096; Ibnu Majah, no. 1875: Ahmad, Al-Musnad, 1/273).

Pendapat yang rājih (lebih kuat) menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah pendapat kedua yang tidak membolehkan wali menikahkan anak gadisnya kecuali dengan izinnya. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :

وَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ أَوْلِيَائِهَا وَلَا مِنْ غَيْرِهِمْ تَزْوِيْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا

 “Tidak berhak salah seorang wali dari wali-wali seorang perempuan gadis (dewasa), demikian juga pihak-pihak lainnya, untuk menikahkan anak gadis itu tanpa seizin dia.” (wa laysa li-ahadin min auliyā`ihā wa lā min ghairihim tazwījuhā bi-ghairi idznihā). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’ī fī Al-Islām, hlm.120).

Dalilnya hadits dari Ibnu ‘Abbās RA di atas, dan juga hadits-hadits lain, seperti hadits dari Khansā` binti Khadām Al-Anshāriyyah RA sbb  :

 عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خَدَّامٍ الْأَنْصَارِيَّةُِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ

Dari Khansā` binti Khadām Al-Anshāriyyah RA bahwa,“Ayahnya telah menikahkan dia sedangkan dia adalah seorang janda dan dia membenci hal ini. Lalu dia mendatangi Nabi SAW dan beliau membatalkan pernikahan tersebut.”  (HR. Al-Bukhari, no. 5138).

Adapun dalil ulama yang membolehkan wali menikahkan tanpa seizin anak gadisnya, tidak dapat diterima. Hal ini karena mafhūm mukhālafah yang dijadikan dalil, tidak dapat diamalkan, karena bertentangan dengan manthūq (makna tersurat/terucap) dari nash hadits yang dengan jelas (eksplisit) tidak membolehkan wali menikahkan anak gadisnya kecuali dengan seizin anak gadisnya (HR. Muslim, no.1421). Kaidah ushuliyyah menetapkan :

 لَا يُعْمَلُ بِمَفْهُوْمِ الْمُخَالَفَةِ إِذَا وَرَدَ نَصٌّ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ يُعَطِّلُهُ

 Lā yu’malu bi-mafhūm al-mukhālafati idzā warada nashshun fī al-kitābi aw as-sunnati yu’athhiluhu. (Tidak dapat diamalkan mafhūm mukhālafah jika terdapat suatu nash dalam Al-Qur`an atau Al-Sunnah yang membatalkannya). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah,3/202). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 13 Oktober 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi

source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

About Author

Comment here